Bukan Testimoni Susno
By IzHarry Agusjaya Moenzir
Subjects: Corruption, Police corruption
Description: Prawacana: The General U Love to Hate Saya membenci Susno Duadji! Itulah yang saya rasa tatkala melihat sosok Susno tampil di Komisi III DPR RI bersama jajaran Kepolisian. Terseret oleh arus besar public-opinion usai mendengar rekaman penyadapan di Mahkamah Konstitusi, saya menilai Komisaris Jenderal Polisi itulah dalang perekayasa. Sebagai anak Pamen Polri yang besar di lingkungan keluarga polisi, saya mau muntah melihatnya. Perut saya mual oleh tindak-tanduknya. Orangtua saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Sejak itu saya selalu mencibir bibir jika melihat gaya Susno berlakon. Di Facebook, berulang kali saya mencerca, mengolok-olok dan make fun of him. Tapi pada Kamis 7 Januari 2010, kehadiran Susno di persidangan Antasari menghunjam saya. Ada getar di batin, dan saya tersentuh oleh kalimat-kalimatnya. Saya terpesona dibalut oleh gumpalan kata. Tampilan Susno membungkus saya untuk berpendapat bahwa pria gempal itu sedang berucap tentang kebenaran, tentang sesuatu yang tidak dikarang-karang, tentang pesan yang datang dari kalbu, suara nurani yang melantun tulus. Mendadak saja saya ingin berbincang dengannya. Lewat akrab saya Margianto yang saban hari siaran di Radio Elshin¬ta, saya menelepon Susno. Saya bilang, saya tidak suka pada¬nya. Saya bilang saya mual. Tapi saya ingin bertemu karena takut salah persepsi. Saya ingin membersihkan batin. I don’t know him since Adam, why should I hate him? Saya tak boleh menyimpan rasa tidak sehat ini. “Saya ingin mengenal Bapak,” ujar saya kepada Susno. Saya memang dalam proses ingin memutihkan nurani. Merasa bersalah ketika membiarkan diri tersedot oleh pendapat masyarakat dalam memberi predikat buruk bagi orang-orang seperti Susno. Padahal saya tidak mengenalnya secara pribadi. Dia tidak punya dosa ke saya. Bolehkah saya membenci tanpa dasar yang kuat? Bersama Margi dan Indrawadi Tamin, pada Minggu 10 Januari 2010, kami bertamu ke rumah Susno. Mengapa tidak Senin di hari kerja? “Jangan Senin,” ujar Susno di balik telepon. “Mungkin Senin saya sudah ditangkap.” Saya tertawa atas joke yang nakal itu. Rasa benci saya mulai lumer. Saya ingin mendengar tuturannya dan ingin mengisahkannya lagi kepada kawan-kawan. Tetapi apa sih manfaat menceritakan orang yang dianggap musuh oleh banyak orang? Sudah jelas Susno terlibat, kenapa harus dibela-bela? Lihatlah, mukanya saja kayak setan. Lirak-lirik kiri-kanan begitu adalah perilaku orang culas. Jangan percayalah sama orang kayak itu. Namun ini bukan soal jenderal yang kita suka membenci¬nya. Ini soal saya dan seluruh kita yang sering membenci sesuatu atau seseorang, tanpa tahu duduk masalah sebenarnya. Mari kita deteksi nurani masing-masing. Ketika jari telunjuk menuding, bukankah ada tiga jari lain yang menuding ke diri sendiri? Lagi pula, kalimat klise bilang, Everyone is innocent until proven guilty. Karenanya, maukah kita berupaya mencari tonggak-tonggak ketulusan, agar nurani kita bisa bersih dalam menilai? Tidak inginkah kita bermandi kebenaran, agar tidak suuzan dan berburuk sangka terhadap siapa pun di sekeliling kita? Saya pikir, kita harus membebaskan diri untuk bisa berpikir merdeka, bebas dari semua yang kita kenal, tak terpengaruh oleh arus pendapat orang lain. Yang banyak dan besar belum tentu mengandung kebenaran, sementara yang sedikit dan kecil belum berarti memiliki kesalahan. Kita harus hidup secara lengkap. Hidup yang sentosa adalah hidup dengan apa yang ada dan nyata, tanpa sedikit¬pun membenarkan dan menyalahkan, sehingga kita akan mengerti secara menyeluruh, dan karenanya persoalan-persoalan kita sendiri pun selesai. Jika kita mampu melihat jelas, maka dengan nurani putih, persoalan kita pun tuntas. Saya tulis buku yang bersandar pada penuturan Susno ini bukan hanya bertujuan melihat siapa dirinya, tetapi juga untuk melihat siapa diri kita. Meskipun buku ini bercerita tentang Susno, ini lebih menyangkut ketulusan kita masing-masing. Nanti jika telah selesai membaca, kita boleh saja melontarkan tanya, apakah Susno Duadji berkata benar atau berbohong? Belantara Hujan, 10 Januari 2010
Comments
You must log in to leave comments.